Sabtu, 01 Juni 2013

Musik Daerah Pantura

Musik Tradisional Cirebon

Bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara (pantura), terutama Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, kesenian tarling telah begitu akrab. Alunan bunyi yang dihasilkan dari alat musik gitar dan suling, seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur. Meski telah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat, tak banyak yang mengetahui bagaimana asal-usul terciptanya tarling. Selain itu, tak juga diketahui dari mana sebenarnya kesenian tarling itu terlahir. Untuk membuka perjumpaan kita, mari kita dengarkan sebuah alunan musik tarling khas Cirebon yang popular pada tahun 80-an berjudul "Pemuda Idaman" dinyanyikan Itih,S.
 
Nining Meida
Namun yang pasti, tarling merupakan kesenian yang lahir di tengah rakyat pantura, dan bukan kesenian yang 'istana sentris'. Karenanya, tarling terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak terikat ritme serta tatanan tertentu sebagaimana seni yang lahir di tengah 'istana'. Sebelum 'resmi' bernama tarling, kesenian ini dikenal dengan sebutan 'melodi kota ayu' di Kabupaten Indramayu, dan 'melodi kota udang' di Cirebon. Pada 17 Agustus 1962, ketua Badan Pemerintah Harian (BPH, sekarang DPRD) Kabupaten Cirebon, menyebut kesenian itu dengan sebutan tarling. Nama tarling itu diidentikkan dengan asal kata 'itar' (gitar dalam bahasa Indonesia) dan suling (seruling). Versi lain pun mengatakan bahwa tarling mengandung filosofi "yen wis mlatar kudu eling" (jika sudah berbuat negatif, maka harus bertaubat) inilah alunan musik Tarling klasik yang sangat sulit di temui saat ini.


Nining Meida
Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Bahkan pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi. Perkembangan musik di Indonesia dan masyarakatnya yang semakin global membuat para seniman Tarling memikirkan kelanjutan dari seni tradisional tersebut.

Sebuah cara mengkolaborasikan dengan warna musik lain adalah pilihannya. Dangdutpun dipilih oleh para seniman Tarling untuk dilebur ke dalam seni tradisional Tarling. Hasilnya masyarakat Indonesia saat ini mengenal seni musik Tarling-dangdut. Sebagian seniman Tarling di cirebon menilai bahwa peleburan ini merusak sedikit demi sedikit seni Tarling klasik namun rupanya kebutuhan hidup tidak dapat diingkari untuk dipenuhi. Tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir Pantai Utara. Untuk menutup perjumpaan kita, mari kita dengarkan sebuah alunan musik tarling klasik berjudul "Banyu Urip" hasil karya Embi. C. Noer. 

Selamat menikmati MUSIK TARLING dan sekaligus melestarikannya.

sumber: rangkuman tulisan seni budaya tarling

Minggu, 14 April 2013

Musik Tarling

Tarling Musik Khas Pantura

Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling (Andai banyak berdosa segera bertaubat). Asal-usul tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan musik Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Trend yang disukai dan populer, di jondol atau ranggon* anak muda suka memainkannya, seni musik ini mulai digandrungi. Pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.

Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu petromaks (saat malam hari). Tak berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat-Balen, maupun Lair-Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya.

Namun yang pasti, nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Dan nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya.

Tapi satu hal yang pasti, seni tarling saat ini meskipun telah hampir punah. Namun demikian, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura. Dikarenakan tarling adalah jiwa mereka, dengan ikut sawer keatas panggung atau sekedar melihatnya, dan mendengarnya seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.

Karya tarling legendaris

Saida Saini
Kang Ato Ayame Ilang
Baridin
Ajian Semar Mesem
Kuntilanak (Lakon Sruet)








Beberapa lagu tarling populer

Warung Pojok (Abdul Adjib)
Kembang Kilaras
Waru Doyong
Pemuda Idaman (Sadi M.)

Tokoh-tokoh tarling
Uci Sanusi
Jayana
Sunarto Martaatmadja
Abdul Adjib (pencipta lagu Warung Pojok)
Lulut Casmaya
Hj. Dariyah
Maman Suparman
Pepen Effendi







Penyanyi tarling dangdut

Aas Rolani (pelantun Mabok Bae, Kembang Kilaras)
Cucun Novia (penyanyi Waru Doyong, SMS versi Tarling)
Nunung Alvi (penyanyi Nunggu Dudae)
Yoyo Suwaryo (penyanyi Jawa Sunda, Mboke Bocah)
Dewi Kirana (penyanyi Pengen Dikawin, Pecak Welut)


sumber: rangkuman tulisan seni budaya tarling









Dalang Wayang Golek

Budaya Khas Sunda


Asep Sunandar Sunarya Asep Sunarya lahir 3 September 1955 di Kampung Jelengkong, Kecamatan Baleendah, 25 km arah selatan Kota Bandung. Bernama kecil Sukana, anak ketujuh dari tiga belas bersaudara.
Keluarga Abah Sunarya yang dikenal sebagai dalang legendaris di tanah Pasundan. adalah seorang Dalang ternama untuk pertunjukan Wayang Golek, terutama atas kreativitasnya dalam memodifikasi wayang golek dalam pertunjukannya. Beliau sekarang bermukim di daerah Giriharja, jelekong
Asep Sunandar Sunarya Asep, yang lebih dikenal dengan panggilan Asep Sunarya, dalang wayang golek yang menciptakan si Cepot. Wayang yang rahang bawahnya bisa digerak-gerakkan jika berbicara, juga dapat merentangkan busur dan melepaskan anak panah, tanpa bantuan tangan dalang. Dengan karyanya itu, dia pantas disebut sebagai pendobrak jagat wayang golek di Indonesia.
Selain si Cepot, wayang denawa atau raksasa juga dibuat sedemikian rupa, sehingga otak kepalanya bisa terburai berantakan ketika dihantam gada lawannya.
Dia dipuji dan juga dikritik dengan karya terobosannya itu. Namun, kritikan itu makin emacu semangat dan kreativitasnya. Keuletannya membuahkan hasil, namanya semakin populer. Terutama setelah Asep meraih juara dalang pinilih I Jawa Barat pada 1978 dan 1982. Kemudian paada 1985, ia meraih juara umum dalang tingkat Jawa Barat dan memboyong Bokor Kencana. 

Pengakuan atas kehandalan dan kreativitasnya mendalang, bukan saja datang dari masyarakat Jawa Barat dan Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Dia pernah menjadi dosen luar biasa di Institut International De La Marionnete di Charleville Prancis. Dari institut itu dia mendapat gelar profesor.
Asep Sunarya lahir 3 September 1955 di Kampung Jelengkong, Kecamatan Baleendah, 25 km arah selatan Kota Bandung. Bernama kecil Sukana, anak ketujuh dari tiga belas bers
keluarga Abah Sunarya yang dikenal sebagai dalang legendaris di tanah Pasundan.
Sejak kecil, terutama sesudah remaja, ia sudah berambisi menjadi dalang. Makanya, setamat SMP, ia mengikuti pendidikan pedalangan di RRI Bandung. Meski ayahnya seorang dalang legendaris di kampungnya, Asep memilih belajar dalang dari Cecep Supriadi di Karawang. 

Berbeda dengan pendahulunya yang mendalang tempat-tempat tertentu saja, Asep justru tekun mensosialisasikan wayang golek yang inovatif ke kampus-kampus, hotel-hotel, gedung-gedung mewah dan televisi. Upayanya membuahkan hasil. Wayang golek populer di berbagai tempat. Penampilannya yang selalu menarik perhatian mengundang decak kagum penonton baik anak muda maupun orang tua.

Popularitas dalang yang telah menikah lima kali dan mempunyai sembilan anak ini pun semakin tinggi. Tidak saja dia diundang pentas mendalang di dalam negeri, tetapi juga di berbagai kota di Benua Asia, Amerika. Amazing. 

Selamat Menikmati Budaya Sunda Sekaligus Melestarikannya.

sumber: rangkuman tulisan seni budaya pasundan